Mari berkongsi ilmu...... :)
Ketika Rasulullah Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallahu \'anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata :
“Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah :
“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh setiap wanita yang normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh anak Adam seperti jalannya darah. Syaithan ingin memberikan keraguan terhadap anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi : (‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah syaithan mendapatkan jalan untuk
membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga syaithan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.
Al Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah, hingga harus dibedakan antara keduanya. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat
darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) dan keluarnya dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan
darah istihadlah :
1.Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
2.Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan
istihadlah lunak.
3. Kekentalannya. Darah istihadlah mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
4.Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan :
Pertama : Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid,
adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.
Misalnya : Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah
istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu \'anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang engkau biasa haid, cucilah darahmu dan setelah itu shalatlah.
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin :
“Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak usah mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan
wanita yang suci.
Keadaan kedua : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan antara darah haid dan darah istihadlah ialah memakai cara tamyiz
(membedakan darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam dan beraroma tidak sedap, bila dia dapatkan demikian maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :
“Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat keterangannya dalam
shahih Abu Daud 283, 284)
MASALAH
Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan
juga Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan mutaakhirin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia
berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya.
Wallahu A’lam.
Keadaan ketiga : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darahnya (tamyiz) di mana darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya satu atau sifat darah itu tidak jelas maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah dia melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah, adapun selebihnya berarti istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu \'anha, ia berkata :
“Aku istihadlah banyak dan deras sekali. Maka aku mendatangi Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda :
‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’
Kata Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita. (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang keadaannya seperti ini ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila haidnya terhitung enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila haidnya selama tujuh hari.
Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun si wanita melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur dengannya dan dia sesuaikan. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits : ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat
(enam atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam
halaman 160)
Berkata para ahli fiqih : “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat yang tetap dan pasti maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz
(membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa
ulama Salaf halaman 54)
Bagaimana cara menentukan antara haid dan istihadlah bagi wanita yang baru pertama kali keluar darah dari kemaluannya dan darah tersebut keluar terus-menerus? Maka bila ia mampu melakukan tamyiz perkaranya mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihadlah maka ia
melihat keadaan umumnya wanita yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid selama enam atau tujuh hari setelah itu ia mandi walaupun darah masih terus mengalir.
Adapun wanita yang lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus–menerus keluar, maka berselisih ulama dalam urusannya. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang
tidak dapat membedakan darahnya. Ada yang berkata : Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Lihat Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab
2/396 dan seterusnya)
Ketika Rasulullah Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallahu \'anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata :
“Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah :
“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh setiap wanita yang normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh anak Adam seperti jalannya darah. Syaithan ingin memberikan keraguan terhadap anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi : (‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah syaithan mendapatkan jalan untuk
membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga syaithan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.
Al Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah, hingga harus dibedakan antara keduanya. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat
darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) dan keluarnya dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan
darah istihadlah :
1.Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
2.Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan
istihadlah lunak.
3. Kekentalannya. Darah istihadlah mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
4.Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan :
Pertama : Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid,
adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.
Misalnya : Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah
istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu \'anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang engkau biasa haid, cucilah darahmu dan setelah itu shalatlah.
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin :
“Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak usah mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan
wanita yang suci.
Keadaan kedua : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan antara darah haid dan darah istihadlah ialah memakai cara tamyiz
(membedakan darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam dan beraroma tidak sedap, bila dia dapatkan demikian maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :
“Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat keterangannya dalam
shahih Abu Daud 283, 284)
MASALAH
Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan
juga Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan mutaakhirin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia
berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya.
Wallahu A’lam.
Keadaan ketiga : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darahnya (tamyiz) di mana darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya satu atau sifat darah itu tidak jelas maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah dia melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah, adapun selebihnya berarti istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu \'anha, ia berkata :
“Aku istihadlah banyak dan deras sekali. Maka aku mendatangi Nabi Shallallahu \'Alaihi Wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda :
‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’
Kata Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita. (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang keadaannya seperti ini ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila haidnya terhitung enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila haidnya selama tujuh hari.
Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun si wanita melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur dengannya dan dia sesuaikan. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits : ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat
(enam atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam
halaman 160)
Berkata para ahli fiqih : “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat yang tetap dan pasti maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz
(membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa
ulama Salaf halaman 54)
Bagaimana cara menentukan antara haid dan istihadlah bagi wanita yang baru pertama kali keluar darah dari kemaluannya dan darah tersebut keluar terus-menerus? Maka bila ia mampu melakukan tamyiz perkaranya mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihadlah maka ia
melihat keadaan umumnya wanita yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid selama enam atau tujuh hari setelah itu ia mandi walaupun darah masih terus mengalir.
Adapun wanita yang lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus–menerus keluar, maka berselisih ulama dalam urusannya. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang
tidak dapat membedakan darahnya. Ada yang berkata : Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Lihat Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab
2/396 dan seterusnya)
3 comments:
lelaki patut bca nih...baru si isteri rasa di hargai..tahnks
lelaki patut bca nih...baru si isteri rasa di hargai..tahnks
btol2...silalah baca wahai kaum adam agar lebey mengenali kaum hawa.. :D
Post a Comment